Panji kala itu duduk termenung memandang pesona keindahan Pantai Losari di senja hari. Matahari yang hampir tenggelam menyinari air laut yang indah dengan deburan ombak yang gemuruh.Air laut tampak seperti permadani emas yang dibentangkan dihamparan padang yang amat luas.
Dalam suasana seperti itu,hati Panji tak seindah panirama alam yang tengah di pandangnya. Dari raut mukanya tersirat sebuah penantian dan kerinduan yang tampak jelas. Ternyata, dia sedang menanti kehadiran dambaan hatinya yang pergi ke negeri seberang untuk bekerja. Sebelum pergi, Sang Kekasih pernah berjanji untuk cepat kembali dan ingin menjadi pendamping hidup Panji. Namun sudah tujuh tahun lamanya Sang Kekasih tidak kembali tanpa ada kabar sedikit pun. Hatinya begitu rindu ingin mendengar sapaan lembut nan manja terlontar dari bibir manis Sang Kekasih.
Dua bulan yang lalu Panji mendapat sepucuk surat dari Sang Kekasih. Ia sangat gembira bagaikan melayang ke angkasa. Namun begitu membaca isi suratnya Panji seperti tidak punya kekuatan lagi. Ia terduduk lesu bahkan matanya pun berkaca-kaca. Ada satu kalimat yang membuat hatinya tersayat-sayat. Sang Kekasih menulis, “Aku minta maaf bila aku sudah membuat kamu menanti, tetapi aku lebih minta maaf lagi karena disini aku menemukan penggantimu yang kurasa lebih baik darimu. Jangan kau menanti aku lagi, karena disini aku sudah melupakan janjiku yang ingin menjadi pendampi hidupmu, sekali lagi maafkan aku.” Kata-kata itu benar-benar bagaikan belati yang menusuk tepat pada ulu hatinya. Tanpa ia sadari air mata kepedihan jatuh membasahi kedua pipinya. Ia sangat terpukul dan hampir tidak percaya akan semua ini.
Sementara itu, dengan hati yang pedih mengingat isi surat itu, Panji bergegas meninggalkan Pantai Losari karena malam telah larut. Panji merasa hidupnya telah hancur, apalagi mengingat ia belum membayar kontrakan rumah selama empat bulan terakhir. Sebenarnya rumah itu sudah tidak layak untuk dihuni, namun apa boleh buat, Panji hanya bisa pasrah.
Dalam keadaan seperti ini. Panji benar-benar putus asa. Bahkan terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidupnya. Malam itu ia tidak dapat memejamkan matanya. Ia terus terbayang-bayang akan kesengsaraan hidupnya . Sekitar pukul 10 malam Panji merasa perutnya lapar, karena memang sehri tadi ia tidak makan sama sekali, ia berjalan kedapur dan hanya membuat mie instan. Panji hanya hidup sebatangkara dan di rumahnya pun hanya ada sedikit perabotan. Dengan perasaan gelisah dan sakit hati, Panji merasa tenggorokannya tak kuasa untuk menelan sesuap mie yang telah lembek karena terlalu lama dimasak.
Pada saat seperti itu, ia sangat sangat membutuhkan kehadiran Sang Kekasih. Namun harapan itu hanya sia-sia belaka. Sang kekasih telah melupakannya dan bahkan telah mendapat penggantinya. Tapi Panji tetap ingin menanti kedatangan Sang Kekasih untuk menemuinya yang saat itu memang sedang sakit fisik dan psikologinya. Akhirnya ia benar-benar putus asa dan ingin bunuh diri. Ia masuk ke dalam kamar mencari sesuatu. Ternyata yang dia cari adalah obat serangga yang digunakanya untuk mengusir nyamuk di malam hari. Tanpa berfikir panjang, Panti lansung meminum obat tersebut sampai habis. Beberapa detik kemudian ia mengalami overdosis dan akhirnya meninggal dengan tragis tepat saat tengah malam.
Keesokan harinya, seorang warga yang igin menjenguknya sudah menemukan Panji tanpa nyawa di kamarnya. Warga yang lainpun segera mengerumuni rumah Panji. Pda hari itu juga Panji langsung dimakamkan di belakang rumahnya, tepat di bawah pohon mangga, tempat yang dulu sering digunakan Panji bermain dengan Sang Kekasihnya. Sejak meninggalnya Panji, warga sering mendengar tangisan seorang laki-laki yang membuat perasaan terenyuh dan bulu kuduk ikit merinding. Warga yakin bahwa suara itu adalah suara arwah Panji yang akan selalu menanti kekasihnya di LIANG LAHAT.
Karya : DANI,FITRI,WENING VIII D
0 komentar:
Posting Komentar