- Oleh M. Eko Purwanto - 10 Oktober 2009 - Dibaca 332 Kali -
-
“Essensi tugas Guru tidaklah mengajar, tetapi untuk menemukan cara-cara & situasi belajar bagi para murid-muridnya, karena hakekat pendidikan bukan mengisi ember melainkan menyalakan api.”
Pendahuluan
Dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada karakteristik, kepribadian & spiritualitas Guru, agar mampu memainkan peran sebagai fasilitator bagi anak-anak didiknya. Saya berharap dalam tulisan artikel ini, saya bisa memberikan cara pandang baru untuk melakukan perubahan dalam proses belajar mengajar di sekolah dan di masyarakat.
Mencintai profesi mengajar, merupakan salah satu dari ratusan bahkan ribuan pilihan pekerjaan, yang saat ini sedang mendapatkan perhatian serius dari Pemerintahan SBY. Secara spiritual, mereka-mereka yang senang mendidik, melatih dan menjadikan orang lain sukses adalah manusia yang mencintai hidupnya sendiri. Manusia seperti ini bukan saja hebat, tetapi sangat hebat?.
Membangun suatu generasi tidaklah semudah dibandingkan dengan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh seorang insinyur, atau seorang dokter untuk mengobati pasiennya. Membangun suatu generasi berarti membentuk kharakter masyarakat masa depan dan alam semesta ini, sekarang. Dan menciptakan generasi yang lebih baik adalah satu-satunya solusi dari setiap jenis masalah yang dihadapi masyarakat kita hari ini.
Masyarakat kita sekarang membutuhkan pikiran lembut untuk bekerja dengan damai, yang menyenangkan hati semua orang, dan mampu melindungi serta melayani orang lain. Mungkin hal masih dianggap mimpi, sekarang, karena kita selalu menyaksikan kekerasan dimana-mana. Mulai dari kekerasan fisik sampai ke kekerasan psikologis. Tidak heran jika kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri, seorang pencopet mati di tangan massa, atau seorang karyawan langsung di PHK lantaran salah melakukan prosedur kerja. Oleh karena itu masyarakat sangat membutuhkan seorang Guru yang konstruktif, guru yang mampu membangun character murid-muridnya, dan Guru yang mampu menyalakan api dari setiap jiwa anak-anak didiknya, agar bisa menjadi generasi yang beradab dan cinta sesamanya.
Guru Konstruktif
Guru yang konstruktif, adalah Guru yang memiliki tujuan untuk mampu melakukan perubahan dari dalam diri murid-muridnya, bukannya dari luar. Guru adalah sumber kreatifitas bagi murid-muridnya dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan pemahaman ini, mungkin kita mampu, sedikit demi sedikit melakukan perubahan yang lebih besar. Kebangkitan dunia pendidikan, mulai dari sekolah sampai ke tingkat kenegaraan bisa dipersiapkan mulai dari sekarang.
Untuk bisa menjadi Guru yang konstruktif, dibutuhkan pemahaman spiritualitas yang cukup. Seorang Guru yang memiliki spiritualitas, bukan hanya mereka yang taat memeluk agama tertentu saja, namun mereka yang memahami bahwa tujuan beragama adalah menemukan siapa dirinya, dan peran apa yang harus dimainkannya di alam semesta ini, karena ia memahami bahwa kehidupannya kelak akan berakhir dimana.
Seorang Guru yang memiliki spiritualitas cukup, ibarat api yang mampu menjadi sumber cahaya dan mampu membakar semangat para murid-muridnya. Guru adalah provokator dalam diri setiap anak-anak didiknya. Oleh karena itu, seorang Guru harus senantiasa mensucikan dirinya dari pikiran dan perbuatan menyimpang dari norma serta nilai-nilai agama yang dianutnya. Sehingga energi murni yang positip selalu terpancar dari dirinya kepada murid-muridnya. Karena pikiran negatif seorang Guru, mudah sekali beresonansi dan mampu mempengaruhi anak didiknya dalam menyerap pelajaran dan mempengaruhi kondisi belajar di dalam kelas. Karena interaksi pertama yang dirasakan oleh murid-muridnya adalah energi potensial Gurunya ketika masuk dalam ruang kelasnya. Bahkan sebelum seorang Guru itu memasuki ruang kelas, isi pikiran Guru sudah berada di ruang kelas. Karena pikiran manusia adalah getaran energi yang mampu beresonansi dengan pikiran-pikiran lainnya.
Saat ini para guru di sekolah, benar-benar masih sangat tinggi kemelekatannya dengan persoalan ekonomi keluarganya. Pikiran para Guru masih bising dan disibukan untuk memecahkan masalah ekonomi dan karir mereka sendiri. Mereka belum bisa keluar dari kemelekatan tersebut. Oleh karena itu, Guru yang konstruktif, adalah ketika seorang Guru mampu mengenal dirinya sebagai jiwa dari seluruh alam semesta dan sebagai bagian entitas rohani yang besar. Ia akan menyadari bahwa peran seorang Guru bukanlah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi untuk memenuhi kebutuhan mental anak-anak didiknya.
Sebagai api yang mampu membakar spirit murid-muridnya, seorang Guru akan mampu menciptakan perubahan dan transformasi dalam masyarakat. Dengan demikian seorang Gurupun, terlebih dahulu, harus mampu mentransformasikan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bermimpi untuk mentransformasikan suatu generasi, sementara dirinya sendiri belum dapat tertransformasikan ?. Itu sebabnya seorang Guru harus senantiasa memiliki semangat untuk memotivasi murid-muridnya. Dia harus menjadi seorang pembimbing yang sekaligus mengarahkan api di dalam diri murid-muridnya ke arah yang konstruktif. Karena itulah, seorang Guru yang kurang memiliki moralitas yang baik, akan memiliki dampak yang tidak baik pula pada murid-muridnya. Karena menurut William Butler Yeats, “Pendidikan bukan mengisi ember, tapi menyalakan api”.
Kekuatan Resonansi Pikiran
Seorang Guru adalah sumber getaran energi bagi murid-muridnya, sehingga para muridnya akan menjadi lebih energik. Mata bathin seorang Guru yang terlatih dengan baik, akan mampu menyentuh semua jiwa-jiwa muridnya di dalam kelas. Dampaknya adalah suasana dan kondisi kelas yang tertib dan muird-muird akan mudah menyerap materi-materi pelajaran yang disampaikan, berapapun jumlah murid didalam kelas tersebut. Melalui Guru yang konstruktif, kita tidak lagi mengenal rasio antara murid dan Guru, yang ada adalah tingkat energi positip Guru baik secara fisik dan mental di dalam kelas.
Ketika saya menjadi murid SMTP sekian puluh tahun lalu, saya merasakan pelajaran yang dianggap sulit pada saat itu, menjadi mudah dan sangat sederhana ketika ditangani oleh seorang Guru yang getaran energinya mampu masuk ke dalam jiwa-jiwa muridnya. Lain halnya dengan Guru yang menganggap murid-muridnya seperti ember yang harus diisi, ia bahkan menganggap murid-muridnya seperti kertas kosong yang bisa diisi tulisan semau Gurunya. Guru seperti ini tidak akan bisa menyalakan api di dalam jiwa anak didiknya, tapi justru akan mematikannya.
Guru yang konstruktif, adalah Guru yang memiliki spiritual cukup. Banyak Guru yang memiliki pengetahuan agama tinggi, namun spiritualitasnya sangat rendah. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas terlalu jauh tentang spiritualitas namun penerapan dari orang-orang yang memiliki spiritualitas cukup, sebagai sarana untuk menggambarkan peran Guru terhadap anak-anak didiknya.
Dalam konteks spiritualitas, ketika seorang Guru berbicara sesuatu, maka seluruh murid-muridnya terperangkap dalam getaran jiwa Gurunya yang menyebar di dalam kelas. Dan ketika seorang guru menjadi menyenangkan, spiritual, dinamis, maka selain materi pelajaran mudah terserap oleh para murid, semua persoalan di dalam kelas juga dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, Karena pusat utama energi jiwa yang kuat di dalam kelas ada di dalam diri seorang Guru. Jika pikiran seorang Guru damai, tidak bising dengan pikiran-pikiran lainnya, maka murid-muridnya akan nyaman dan menyenangkan dalam menerima materi pelajaran. Perubahan dalam jiwa guru adalah dasar dari semua kreativitas murid dan mampu mendinamisir sistem pembelajaran di dalam kelas.
Memahami anak-anak didiknya dalam upaya mengetahui bagaimana menyalakan api dalam diri setiap muridnya, hanya bisa dilkukan, ketika seorang Guru mampu memahami dirinya sendiri. Jika seorang Guru sibuk dengan begitu banyak kesalahpahaman dalam dirinya, dalam keluarganya, dan dalam memilih profesinya maka bagaimana mungkin ia bisa menyebarkan pemahaman ke dalam hati dan pikiran anak-anak didiknya ?. Seorang guru harus memahami kebutuhan dan masalah-masalah siswa. Hal ini bukan hanya tugas Guru BK (Bimbingan & Konseling) saja, tetapi semua Guru di sekolah. Dia harus mampu menyelami jiwa setiap muridnya, memahami kepribadian yang terbentuk dari keluarganya, dan kecenderungan-kecenderungan lainnya yang terlihat dari perilaku anak-anak didiknya. Dengan demikian, seorang Guru akan dapat memotivasi murid-muridnya dengan baik.
Guru adalah contoh dan teladan di depan murid-muridnya. Jika seorang Guru sendiri memiliki watak pemarah, tidak memiliki kesabaran, maka energi pemarah dan tidak sabaran tersebut meresonansi anak-anak didiknya dan membentuk character anak-anak didiknya, menjadi minimal sama atau bahkan lebih, sebagai calon-calon seorang pemarah dan tidak sabaran. Dalam bahasa fisika kuantum, panjang gelombang energi anak didik di dalam kelas, berbanding lurus dengan panjang gelombang energi Gurunya. Dan getaran akan beresonansi dengan besaran yang sama.
Kita tidak akan mampu menenangkan situasi kelas dan menanamkan kecintaan murid terhadap mata pelajaran tertentu, jika pikiran kita sebagai Guru masih bising dengan pikiran-pikiran lainnya, apalagi kita tidak mencintai profesi dan mata pelajaran yang kita ajarkan kepada murid-murid kita. Lebih parah lagi, jika kita menjadi seorang Guru hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja alias mencari nafkah. Akibatnya, murid-murid akan berdagang dengan Gurunya disekolah, bukan untuk belajar. (Bersambung).
Oleh. M. Eko Purwanto
(Staf Bidang Pendidikan YW Al Muhajirien Jakapermai - Bekasi)
0 komentar:
Posting Komentar